Selasa, 21 September 2021

Keselarasan Dalam Ilmu Kejawen


Sebagian (atau kiranya mayoritas) orang menganggap bahwa ilmu bagi orang Jawa (Tengah) didapat melalui olah rasa serta hanya mereguk saja. Tak ada ataupun perlu ada penalarannya. Hal ini juga didukung oleh berbagai karya tulis pujangga-pujangga masa lampau yang banyak menggunakan kata yang wahid ini. Sementara itu, anggapan sebagaimana itu tidak sepenuhnya betul atau bisa dibilang keliru. Setidaknya itulah pelajaran yang saya bisa dari banyak diantara kita tua di Jawa Tengah dulu, termasuk dari mendiang orang uzur saya.

Semua karya orang-orang jaman dulu memang dilandasi perolehan mereguk. Semua sesuatu harus berakar dari rasa supaya sesuai selera & bisa dirasakan manfaatnya. Karena itu kesan yang muncul adalah bahwa rasa dianggap paling yang utama. Memang ada benarnya. Akan tetapi, rasa dengan seperti apa-apa? Menurut kemahiran saya hal ini bermula dari pengertian mereka soal diri manusia dan kaitannya dengan dunia semesta.

Dalam pandangan keilmuan Jawa, manusia adalah makhluk multidimensi. Banyak pandangan soal ini & bila perkataan jumlahnya, opini mereka bisa berbeda-beda. Akan tetapi, pada prinsipnya sepakat ada tiga luas utama, yaitu raga, jiwa, dan sukma. Dalam setiap dimensi wujud manusia relatif tetap tentu, dalam makna semua fungsi ada, termasuk penginderaan & tentunya rasa. 

Kata mereguk sendiri bagi mereka merujuk kepada mengecap dalam luas mental atau jiwa. Sebagaimana karya-karya Ki Ageng Suryo Mentaram. Di wilayah “kasunyatan” atau tempat nyata dikenal hawa, sedangkan di lokasi sukma dikenal “rasa sakjeroning rasa” atau rasa dalam dalam rasa. Rasa di dalam sukma ini lah yang dijadikan acuan terpenting dalam berkarya. Disebut “kawruh” atau lazim diartikan “kaparingan weruh” ataupun diberi pandangan. Sayangnya, wilayah ini sepertinya belum jumlah diteliti sambil para pengamat asing dengan menggunakan pendekatan nalar. Padahal, pendapat supranatural nusantara merekalah yang acap dijadikan rujukan dalam berbuat penilaian.

Sebab itu, ilmu kejawen secara umum lalu dianggap ilmu yang tidak rasional alias tanpa nalar. Padahal, menurut pengalaman aku posisi nalar dalam budaya keilmuan jawa (kejawen) juga termasuk faktor paling penting. Tepatnya sesudah rasa dalam sukma. Diantaranya yang telah dipaparkan sebelumnya, ada tiga dimensi yang utama rasa. Sosok manusia dengan sejati tersedia di tempat sukma, sedangkan raga cuma kendaraan aja. Rasa di alam nyata yang dikenal hawa memiliki watak-watak kehewanan. Di sisi lain, mereguk di tempat sukma condong mengarah kepada kebaikan, lebih dekat kepada kebenaran, dan punya sifat-sifat ketuhanan.

Provisional itu, posisi jiwa berpengaruh di antara dua kubu yang saling tarik-menarik itu, sebagai penyambung. Lebih lanjut soal jiwa, menurut ajaran agama dengan saya pahami ada faksi tertentu yang berkepentingan di sini. Konon ia berpunya di sempang dua kelompok yang bertentangan. Di antara lelaki dan cewek, pembeli serta pedagang, gelap dan terang, guru serta murid, & masih banyak lagi dikategorikan diantara sukma dan raga. Pihak yang dimaksud adalah setan. Oleh karenanya, sebagian berpendapat dalam dalam jiwa itulah celah kerjanya karet setan. Masuk dari pintu-pintu yang dikenal “hawa sanga” atau sembilan hawa. Oleh sebab itu, menjaga kebersihan atau kesucian jiwa menjadi perkara dengan sangat diperlukan. Di lokasi ini juga letak pikiran pikiran manusia.

Dengan jalan cahaya dibanding sukma tetap menyinari serta jiwa pun turut menerangi. Inilah status nalar dengan diinginkan pada keilmuan orang2 Jawa. Untuk cahaya atau tali yang turut menerangi atau pengendali hawa. Pantauan ini kemudian disebut ilmu putih. Sebaliknya, nalar yang lebih condong kepada hawa mengarah kepada pembenaran dan akan menuntun kepada kegelapan atau ilmu hitam. Butuh diketahui bahwa dalam pantauan orang Jawa, urutan asal perolehan ilmu tidak selalu berasal daripada sukma. Namun, apa yang mereka inginkan adalah keselarasan ketiga dimensi tersebut. Mereguk dalam mereguk memang dianggap mendekati kesahan. Cuma, ia sifatnya personal dan tergantung kepribadian serta wawasan seseorang, jadi masih sulit dipertanggungjawabkan. Di sinilah nalar mulai memainkan perannya.

Pikiran diarahkan untuk membaca apa yang sudah didapat dari sukma. Tentunya supaya orang unik pun dapat memahami, merujuk, menyetujui, membahas, dll. Datang di lokasi ini telah ada interaksi dengan beberapa pihak dalam luar diri. Tapi, tetap saja masih sebatas wacana dan belum menjadi apa-apa. Masih dibutuhkan sesuatu dengan konkret, manifestasi dari pemahaman yang tersedia di level angan-angan. Dapat ditebak bahwa ilmu tadi harus disesuaikan juga dengan kenyataan. Secara umum terbagi dua, yakni di area pribadi dan luar pribadi.

Penerapan pengetahuan pada diri sendiri berwujud sebagai satu buah kepribadian atau budi etik, sedangkan dalam luar tersebut berupa karya indah dengan umumnya dikenal seni. Karya-karya dengan prinsip keselarasan seperti ini yang bisa disebut ada point kebenarannya, sarat makna, serta banyak manfaatnya. Dalam kaidah filsafat kerap disebut “rasane, jarene, lan nyatane. ” Terjemahan bebasnya: rasanya, katanya, dan nyatanya.

Seperti itulah esensi ajaran-ajaran yang tahu saya terima. Benar atau tidaknya, tidak tanyakan kepada saya. Tanyakan kepada karet ahlinya. Tersebut hanya upaya berbagi aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Informasi Berkomentar :

[*] Blog Ini DOFOLLOW
[*] WAJIB menggunakan kata yg Sopan
[*] Dilarang berkomentar yg mengandung Porno, Sara, dan Judi
[*] Dilarang LiveLink
[*] Dilarang Ribut, apalagi membawa Agama
[*] Usahakan menggunakan Account

Nyann Maru | Berbagi Informasi dan Tips Terbaru © 2014. All Rights Reserved | Powered By Blogger | Grosir Gamis Murah | Blogger Templates | Designed by-Dapinder